A L U M N I S A F

MEDIA KOMUNIKASI PARA ALUMNI
TK - SD - SMP - SMA SALMAN AL FARISI
GURU - SISWA - KARYAWAN - ORANG TUA

Jumat, 09 November 2007

inilah Pendiri sekolah SALMAN


Lendo Novo: Sekolah Harus Menyenangkan!

Sewaktu kecil ia sering dihukum guru karena terlalu banyak bertanya. Dia mengaku bahwa duduk diam di kelas adalah siksaan, sehingga dari usia belia ia bercita-cita membuat suatu sekolah yang muridnya kelak dapat menikmati saat-saat belajar mereka.

Impiannya itu berhasil diwujudkan Lendo Novo (43) pertama kali di tahun 1992, dengan mendirikan sebuah taman kanak-kanak (TK) yang diberinya nama TK Salman. TK itu dinamai demikian, karena didirikan di lingkungan Masjid Salman, sebuah masjid di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), tempat Lendo menempuh pendidikan S1 dan S2-nya selama beberapa tahun sebelumnya.
“Siswa di TK Salman setiap harinya belajar dari pagi hingga sore hari. Akibatnya, sekolah ini menuai banyak kecaman,” kenang Lendo sambil tersenyum. “Padahal siswa di TK ini sangat menikmati kegiatan belajar mereka,” lanjutnya.
Beberapa pihak, termasuk Ibu Sudharmono, istri wakil presiden kala itu menganggap Lendo tidak mengerti konsep pendidikan. Sebab ia tidak berlatar belakang pendidikan guru. Namun Lendo Novo pantang mundur. Kecaman itu tidak ditanggapinya serius, ia justru mengundang mereka yang mengkritiknya untuk melihat secara langsung proses pembelajaran di sekolahnya itu.
“Kalau anak TK harus duduk diam dan melipat tangannya selama belajar, mungkin waktu sepuluh menit bagi mereka sangat lama, tapi kalau kegiatan belajar mereka menyenangkan, mereka akan menikmati belajar itu walau berjam-jam,” ujar ayah dari Bariah, Khalid, Hamzah, Dhia, dan Omar ini penuh keyakinan.
Mulai tahun 1992 itu pula, Lendo Novo terus menggodok konsep sekolah yang diimpikannya, hingga lima tahun kemudian, tahun 1997, muncullah kesempatannya membuka sekolah alamnya yang pertama, yakni Sekolah Alam Ciganjur, di Jakarta Selatan.
Lendo Novo di sekolah alamnya ini mengembangkan suatu sistem pendidikan, di mana siswa dari umur pra sekolah sudah belajar berinteraksi langsung dengan alam sebagai media belajar mereka setiap harinya. Mereka belajar mengamati, bertanya, mengumpulkan data, membuat hipotesis, dan menguji hipotesis mereka. Dengan cara belajar yang aktif dan kreatif ini, anak-anak belajar mandiri dan menjadi akrab dengan lingkungannya.
Sekarang sudah ada sekitar sembilan sekolah alam di Jawa dan Sumatera. Lendo berharap sekolah alam kelak ada di semua provinsi di Indonesia, sehingga bisa menjadi contoh positif dan dapat mempengaruhi pendidikan formal.

Sekolah Bisnis
Selama mengembangkan sekolah alamnya, Lendo Novo juga memendam keinginan mengembangkan suatu sekolah bisnis berbasis lingkungan. Ia lantas mendirikan School of Universe (SoU), tepatnya di tahun 2004, yang mengembangkan pola jaring laba-laba (spider web) dan pembagian per tema dalam sistem pembelajarannya.
Di SoU, alam semesta adalah sumber pembelajaran tanpa batas. Di sekolah ini para siswa dilatih “membaca” semesta dengan cara pandang utuh dan menyeluruh. Khasanah semesta dituangkan ke dalam tema-tema bahasan, dan siswa belajar dengan cara mengupas tema tersebut melalui semua cara pandang berbagai cabang keilmuan.
Lendo tergolong berhasil mengembangkan sekolah yang secara terpadu mengajarkan kepada siswanya soal akhlak, logika, dan sifat kepemimpinan. Terbukti sekolah alam dan SoU yang didirikannya kini menjadi inspirasi banyak pihak. Salah satunya, Dewan Gereja Dunia melalui Wahana Visi Indonesia (WVI) telah mengontraknya sejak sekitar tahun 2001 hingga tahun 2011 nanti, untuk merintis sekolah alam di Indonesia, antara lain untuk wilayah Papua dan Nusa Tenggara.
Lendo selalu yakin dengan gagasan sekolah bisnisnya ini. Ia bahkan kini mengatakan berani “mengadu” kemampuan siswa dari sekolahnya ini dengan kemampuan siswa dari sekolah mana pun di dunia ini.

Sosok Lendo
Lendo Novo selama ini mungkin lebih dikenal sebagai mantan staf ahli Menteri Negara BUMN Sugiharto ketimbang sebagai "sang brilian penggagas sekolah alam”. Ia sempat dijuluki “orang yang paling ditakuti” oleh para direksi BUMN. Sebab perannya membersihkan BUMN dari para koruptor telah menyebarkan ketakutan di kalangan para pejabat BUMN yang merasa dirinya “kurang bersih”.
Menurut Septri, salah seorang pengajar di SoU, Lendo adalah seorang yang cerdas, idealis, baik, ramah, nyentrik, pantang menyerah, dan memiliki “seabrek” sifat baik lainnya.
Sosok visioner ini kini juga sedang menyiapkan Life Institute, yakni sekolah bisnis setingkat perguruan tinggi. “Insya Allah, Life Institute akan siap pada tahun 2009 nanti,” ujar Lendo menutup perbincangan yang hangat dengan SH di SoU, Parung, Bogor, pada Selasa (31/7) lalu.
(berbagai sumber)

Komentar : Mudah-mudahan Salman masih mau melihat idealisme para pendiri Salman, bukan hanya mengedepankan Bisnis belaka ....

Selasa, 06 November 2007

Memahami Al Qur'an



Membaca Teks Suci (2)
Nadirsyah Hosen

Ummat Islam menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber rujukan utama dan terutama. Kitab suci itu juga menjelaskan fungsinya sebagai, "Kitab yang tiada keraguan didalamnya sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa"(Al-Baqarah:2). Karena tiada keraguan mengenai isinya, maka semua informasi yang diberikan dalam Al-Qur'an pastilah benar. Hal ini tidaklah mengherankan karena Al-Qur'an adalah Kalamullah; ia berasal dari Allah SWT. Adalah wajib bagi ummat islam untuk meyakini bahwa satu huruf pun dalam Al-Qur'an itu berasal dari Allah SWT.

Kitab suci yang diturunkan kepada Muhammad SAW ini haruslah dibaca dan dipahami sebaik mungkin. Sayangnya, ada dua hal yang menyulitkan kita untuk memahaminya. Pertama, Al-Qur'an menggunakan bahasa Arab. Kedua,tema-temanya tidak tersusun rapi dan sistematis.

Kesulitan pertama lahir karena ketidakmampuan sebagian besar diantara kita berbahasa arab dengan baik. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa sastra yang digunakan oleh Al-Qur'an sangatlah tinggi. Bagi yang tidak menguasai bahasa Arab atau hanya sedikit menguasai jelas amat sulit untuk menangkap maksud Al-Qur'an dengan baik. Bahkan mereka yang bahasa ibunya bahasa Arab pun belum tentu mampu memahami kandungan bahasa al-Qur'an. Untunglah terjemahan Al-Qur'an sudah dicetak dan beredar luas. Tafsir berbahasa Indonesia juga sudah ada, semisal Tafsir Al-Azhar Buya Hamka.

Kesulitan kedua merupakan lanjutan logis dari kesulitan pertama. 114 surat yang terbagi dalam 30 juz dan tersebar dalam enam ribu lebih ayat bukanlah tersusun seperti ensiklopedi, yang entrinya disusun secara alpabetikal. Tema dalam Al-Qur'an terkesan meloncat-loncat. Kita akan gagal memahami maksud satu tema, bahkan satu ayat, dalam Al-Qur'an tanpa menghubungkannya dengan sejumlah ayat lain; bahkan juga harus dibantu dengan sejumlah riwayat hadis. Ini menunjukkan kita harus benar-benar memahami Al-QurĂ¢an secara satu kesatuan (holistik).

Berbeda dengan membaca ensiklopedi yang bila telah menemukan satu entri maka kita dapat melupakan atau mengacuhkan entri lainnya. Tapi tidak demikian halnya dengan Al-Qur'an. Membaca hanya surat Al-Baqarah ayat 219 tentang khamr tidak akan meraih pemahaman yang utuh, kecuali bila kita juga membaca QS. 47: 12, dan QS. 5:90. Untunglah kita tertolong dengan beberapa kitab yang berfungsi sebagai indeks dalam mencari ayat Al-Qur'an. Kitab Mu'jam al-Mufahras, Fathur Rahman atau Indeks Al-Qur'an (terbitan Pustaka Bandung), Konkordansi Al-Qur'an (terbitan Litera Bogor) hanyalah sekedar menyebut beberapa kitab yang sangat berguna bagi kita.

Persoalan yang paling utama adalah bagaimana kita "membaca" Al-Qur'an sehingga hasil "bacaan" tersebut dapat berpengaruh dan menjawab semua problematika kehidupan?
Buat anak IAIN, Al-Qur'an telah menjadi obyek pembahasan tafsir; buat "paranormal", ayat Qur'an menjadi jimat; buat pejabat, ayat Qur'an yang dikutipnya membuat ia dianggap sebagai tokoh Islam, apalagi kalau ia kemudian bergabung dengan organisasi kumpulan cendekiawan Islam; buat para da'i, ayat Qur'an harus dikutip dalam ceramahnya, semakin banyak ayat yg dikutip semakin terlihat kealimannya; buat Sri Bintang Pamungkas, ayat Qur'an juga bisa ditaruh di kartu lebaran "politik"nya; buat AM Saefuddin dari PPP, ayat-ayat yang menyebut "bintang" dikumpulkannya untuk memberi justifikasi lambang partainya; buat seorang kiyai pendukung Golkar, problema umat islam bisa dipecahkan dengan kumpulan ayat yang bila huruf awalnya disingkat akan melahirkan kata "Golkar". Buat qari'-qari'ah, ayat Qur'an dilagukan di MTQ; dan masih banyak macam dan ragam cara kita "memperlakukan" Al-Qur'an.

Tetapi, pernahkah kita berpikir untuk menempatkan Al-Qur'an sesuai dengan proporsinya? Bila kita menghadapi masalah yang berat pernahkah kita mencoba mencari jawabannya di Qur'an? Bila rezeki Tuhan turun begitu melimpah atau tersendat-sendat kepada kita, adakah kita temukan jawabannya dalam kitab suci? Bila kita berselisih dengan karib kerabat pernahkah kita mencari penyelesaiannya dalam Al-Qur'an? Maukah kita disamping membaca koran dan email tiap hari juga mau membaca al-Qur'an setiap hari? Pernahkah kita introspeksi perjalanan hidup kita dengan melihat kandungan ayat suci al-Qur'an sebagai "hakim"nya? Pada umur berapa kita mulai tertarik dengan al-Qur'an dan bersedia menelaah ayat demi ayatnya?

Syaikh Abdullah Darraz berkata, "Al-Qur'an itu bagaikan intan berlian. Dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya". Boleh jadi ada sejumlah surat (katakanlah Surat Al-Ikhlas) yang sejak kecil kita baca (entah telah berapa ratus kali). Pernahkah kita melihat "cahaya"nya yang berbeda-beda? Ketika kita membaca surat Al-Ikhlas dalam satu kondisi boleh jadi kita mendapat satu pemahaman. Di hari dan kondisi yang berbeda, boleh jadi ayat yang sama akan melahirkan pemahaman yang berbeda pula. Semakin sering dibaca, semakin dalam maknanya. Surat Yasin yang dibaca setiap minggu oleh sebagian dari kita, seharusnya telah melahirkan pemahaman yang semakin mendalam setiap minggunya.

Jika kita mampu "membaca" al-Qur'an lebih dari saat kita membaca huruf demi hurufnya, al-Qur'an tiba-tiba menjadi "hidup". Seorang rekan bercerita, ketika ia hendak melakukan perbuatan yang tercela, tiba-tiba ayat al-Qur'an melintas didepannya. Ia terkejut melihat Allah langsung menegurnya dengan "menampakkan" ayat Qur'an didepan matanya. Ketika ia membaca satu ayat, ia tak mampu memahaminya. Namun ia teruskan juga membaca ayat selanjutnya, tiba-tiba ia terkejut karena ia merasa "dibisiki" jawaban ketidaktahuannya melalui ayat selanjutnya. Walhasil, setiap ia membaca al-Qur'an, selalu ia temukan jawaban.

Konon, menurut satu riwayat, al-Qur'an itu berisikan tujuh makna lahir dan tujuh makna batin. Saya tak tahu makna ditingkat keberapa yang sudah diraih rekan tersebut. Yang saya tahu, ia seorang Ethiopia dan sedang menyelesaikan master dalam bidang ekonomi di kampus saya. Yang saya tahu, ia tak berbeda dengan kita dalam hal keawaman terhadap disiplin keislaman klasik (ia bukan seorang ulama), namun pada saat yang sama ia berbeda dengan kita karena ia telah mampu "menghidupkan" al-Qur'an dan membuktikan bahwa al-Qur'an itu memang Kitab petunjuk.


Wa Allahu a'lam bi al-Shawab

.

Memahami Al Qur'an



Membaca Teks Suci (1)

Nadirsyah Hosen

Nabi wafat dan meninggalkan dua pusaka, al-Qur'an al-Karim dan Hadis Nabi. Dipesankan oleh Nabi Muhammad saw, bila kita berpegang teguh pada kedua pusaka itu, niscaya kita akan selamat di dunia dan akherat.

Petunjuk suci itu hadir di tengah kita kini dalam bentuk teks. Petunjuk suci itu lahir lima belas abad yang lampau. Kedua pusaka itu telah melintasi ruang dan waktu. Sudah banyak lahir karya ulama besar yang memberi tafsir terhadap kedua teks suci itu sehingga teks suci itu selalu dapat dijadikan petunjuk untuk menghadapi tantangan zaman.

Ya, tafsir merupakan kata kunci dalam usaha "membumikan" kedua teks suci itu. Semakin cerdas kita membaca teks, semakin cerdas pula teks itu memberikan jawaban. Pada titik ini, yang terjadi adalah dialog terus menerus antara si pembaca teks dengan teks suci tersebut. Karena itu kualitas "bacaan" terhadap teks dipengaruhi oleh kualifikasi pembaca.

Ayat-ayat mengenai jihad yang dibaca oleh pejuang di Palestina dan di Bosnia tentu berbeda nuansanya bila dibaca oleh Muslim yang tinggal di kaki gunung yang penuh kedamaian. Ayat mengenai solidaritas sosial tentu menjadi lebih hidup ketika diberi muatan tafsir oleh aktivis sosial. Begitu pula ayat-ayat tentang alam semesta menjadi sumber inspirasi dan konfirmasi bagi ilmuwan.

Semua umat Islam memiliki hak yang sama untuk mengakses kedua pusaka itu; tidak peduli latar belakang dan spesialisasi keilmuan mereka. Sayang, sebagian orang membatasi hak penafsiran itu pada orang tertentu (yang lazimnya dikenal dengan sebutan ulama). Lebih celaka lagi, sebagian orang menyalahgunakan haknya dalam mengakses teks suci itu. Seorang ahli ekonomi tiba-tiba membahas aspek syari'ah dalam kedua teks suci tersebut. Seorang ahli peternakan tiba-tiba tampil membahas ayat-ayat tentang teologi. Seorang pakar hukum Islam keluar dari jalurnya ketika ia bicara ayat dan hadis tentang tekhnologi. Pendek kata, menyalahgunakan hak jauh lebih berbahaya dibanding tidak menggunakan hak itu.

Tafsir adalah kata kunci dalam menjalankan Islam, khususnya ketika kedua pusaka suci mengirimkan sinyal-sinyal yang samar dan remang-remang. Tafsir diperlukan untuk membuat sinyal itu menjadi jelas. Sayang, banyak yang suka melakukan monopoli penafsiran. Banyak yang emoh dengan pluralitas penafsiran. Bahkan, banyak pula yang anti dengan perbedaan pendapat. Tidak jarang sebuah perbedaan pendapat disikapi dengan kecurigaan, tuduhan, dan hamburan emosi.

Membaca teks suci dan mengamalkannya adalah pesan Nabi yang harus diikuti. Namun banyak yang lupa, bahwa perbedaan pendapat dan keragaman penafsiran terhadap kedua teks suci itu justru lahir karena mengamalkan pesan Nabi itu. Selain tafsir, tampaknya kata kunci dalam memahami kedua pusaka peninggalan Nabi adalah pluralitas.

Masalahnya, sudah siapkah kita menerima pluralitas penafsiran terhadap kedua teks suci itu? Atau kita masih saja merasa bahwa tafsiran kitalah yang paling benar, dan orang lain yang berbeda penafsiran dengan kita dianggap mempraktekkan bid'ah, sesat, ataupun kafir?

Armidale, 27 Mei 1998

Senin, 05 November 2007

KISAH ASAL-USUL HAJAR ASWAD

Ketika Nabi Ibrahim a.s bersama anaknya membina Kaabah banyak kekurangan yang dialaminya. Pada mulanya Kaabah itu tidak ada bumbung dan pintu masuk. Nabi Ibrahim a.s bersama Nabi Ismail bertungkus kumus untuk menjayakan pembinaannya dengan mengangkut batu dari berbagai gunung.
Dalam sebuah kisah disebutkan apabila pembinaan Kaabah itu selesai, ternyata Nabi Ibrahim masih merasakan kekurangan sebuah batu lagi untuk diletakkan di Kaabah.
Nabi Ibrahim berkata Nabi Ismail berkata, "Pergilah engkau mencari sebuah batu yang akan aku letakkan sebagai penanda bagi manusia."

Kemudian Nabi Ismail a.s pun pergi dari satu bukit ke satu bukit untuk mencari batu yang baik dan sesuai. Ketika Nabi Ismail a.s sedang mencari batu di sebuah bukit, tiba-tiba datang malaikat Jibril a.s memberikan sebuah batu yang cantik. Nabi Ismail dengan segera membawa batu itu kepada Nabi Ibrahim a.s. Nabi Ibrahim a.s. merasa gembira melihat batu yang sungguh cantik itu, beliau menciumnya beberapa kali. Kemudian Nabi Ibrahim a.s bertanya, "Dari mana kamu dapat batu ini?"

Nabi Ismail berkata, "Batu ini kuterima daripada yang tidak memberatkan cucuku dan cucumu (Jibril)."
Nabi Ibrahim mencium lagi batu itu dan diikuti oleh Nabi Ismail a.s. Sehingga sekarang Hajar Aswad itu dicium oleh orang-orang yang pergi ke Baitullah. Siapa sahaja yang bertawaf di Kaabah disunnahkan mencium Hajar Aswad. Beratus ribu kaum muslimin berebut ingin mencium Hajar Aswad itu, yang tidak mencium cukuplah dengan memberikan isyarat lambaian tangan sahaja.
Ada riwayat menyatakan bahawa dulunya batu Hajar Aswad itu putih bersih, tetapi akibat dicium oleh setiap orang yang datang menziarahi Kaabah, ia menjadi hitam seperti terdapat sekarang. Wallahu a'alam.

Apabila manusia mencium batu itu maka timbullah perasaan seolah-olah mencium ciuman Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Ingatlah wahai saudara-saudaraku, Hajar Aswad itu merupakan tempat diperkenan doa. Bagi yang ada kelapangan, berdoalah di sana, Insya Allah doanya akan dikabulkan oleh Allah. Jagalah hati kita sewaktu mencium Hajar Aswad supaya tidak menyengutukan Allah, sebab tipu daya syaitan kuat di Tanah Suci Mekah.
Ingatlah kata-kata Khalifah Umar bin Al-Khattab apabila beliau mencium batu itu (Hajar Aswad) : "Aku tahu, sesungguhnya engkau hanyalah batu biasa. Andaikan aku tidak melihat Rasulullah S.A.W menciummu, sudah tentu aku tidak akan melakukan (mencium Hajar Aswad)."

Tokoh Ilmuwan


Dari milis alumnismasa… dr milis tetangga

Didalam ujian Fisika di Universitas
Copenhagen
seorang dosen penguji mengajukan pertanyaan
kepada salah seorang mahasiswanya :

"Jelaskan bagaimana mengukur tinggi suatu
bangunan pencakar langit dengan menggunakan
sebuah barometer."

Mahasiswa tersebut menjawab: "Ikatlah leher
barometer itu dengan seutas tali panjang, lalu
turunkan barometer dari pucuk gedung pencakar
langit sampai menyentuh tanah. Panjang tali
ditambah panjang barometer akan sama dengan
tinggi pencakar langit."

Jawaban yang luar biasa "orisinil" ini membuat
dosen penguji begitu geram. Akibatnya si
mahasiswa langsung tidak diluluskan.

Si mahasiswa naik banding, karena menurutnya
kebenaran atas jawaban itu tidak bisa disangkal.
Kemudian universitas menunjuk seorang arbiter
yang independen untuk memutuskan kasus itu.
Arbiter menyatakan bahwa jawaban itu memang
benar dan tidak bisa disangkal, hanya saja tidak
memperlihatkan secuil pun pengetahuan mengenai
ilmu fisika.

Untuk mengatasi permasalahan itu, disepakati
untuk memanggil si mahasiswa, dan memberinya
waktu enam menit untuk memberikan jawaban
verbal yang menunjukkan latar belakang
pengetahuannya mengenai prinsip-prinsip dasar
ilmu fisika. Selama lima menit, si mahasiswa
duduk tepekur, dahinya berkerut. Arbiter
mengingatkan bahwa waktu sudah hampir habis.

Mahasiswa itu menjawab bahwa ia sudah memiliki
berbagai jawaban yang sangat relevan, tetapi tidak
bisa memutuskan yang mana yang akan dipakai.
Saat diingatkan arbiter untuk bersegera
memberikan jawaban, si mahasiswa menjelaskan
sebagai berikut:

"Pertama-tama, ambillah barometer dan bawalah
sampai ke atap pencakar langit. Lemparkan ke
tanah, lalu ukurlah waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai tanah. Ketinggian bangunan bisa
dihitung dari rumus H = 0.5x g x t kwadrat. Tetapi
khan sayang barometernya jadi pecah."

"Atau, bila matahari sedang bersinar, anda bisa
mengukur tinggi barometer, tegakkan di atas
tanah, dan ukurlah panjang bayangannya. Setelah
itu, ukurlah panjang bayangan pencakar langit,
sehingga hanya perlu perhitungan aritmatika
proporsional secara sederhana untuk menetapkan
ketinggian pencakar langitnya."

"Tapi kalau anda betul-betul ingin jawaban ilmiah,
anda bisa mengikat seutas tali pendek pada
barometer dan menggoyangkannya seperti
pendulum. Mula-mula lakukan itu di permukaan
tanah lalu di atas pencakar langit. Ketinggian
pencakar langit bisa dihitung atas dasar perbedaan
kekuatan gravitasi T = 2 phi akar dari (l/g)."

"Atau kalau pencakar langitnya memiliki tangga
darurat di bagian luar, akan mudah sekali untuk
menaiki tangga, lalu menggunakan panjangnya
barometer sebagai satuan ukuran pada dinding
bangunan, sehingga tinggi pencakar langit =
penjumlahan seluruh satuan barometernya pada
dinding pencakar langit."

"Bila anda hanya ingin membosankan dan
bersikap ortodoks, tentunya anda akan
menggunakan barometer untuk mengukur tekanan
udara pada atap pencakar langit dan di permukaan
tanah, lalu mengkonversikan perbedaannya dari
milibar ke satuan panjang untuk memperoleh
ketinggian bangunan."

"Tetapi karena kita senantiasa ditekankan agar
menggunakan kebebasan berpikir dan menerapkan
metoda-metoda ilmiah, tentunya cara paling tepat
adalah mengetuk pintu pengelola gedung dan
mengatakan: 'Bila anda menginginkan barometer
baru yang cantik ini, saya akan memberikannya
pada anda jika anda memberitahukan kepada saya
berapa ketinggian pencakar langit ini."

Melihat jawaban yang diberikan kepada arbiter,
semua orang sadar bahwa mahasiswa ini tidak
bodoh, tetapi pertanyaan penguji telah
menggiringnya kearah jawaban yang tidak
dikehendaki penguji.

Mahasiswa itu adalah Niels Bohr, warga Denmark
genius yang kelak akan memenangkan hadiah
Nobel untuk bidang Fisika.