A L U M N I S A F

MEDIA KOMUNIKASI PARA ALUMNI
TK - SD - SMP - SMA SALMAN AL FARISI
GURU - SISWA - KARYAWAN - ORANG TUA

Sabtu, 20 Desember 2008

angkatan 5





Jumat, 19 Desember 2008

Guru Di-PHK, Kemana Harus Mengadu?

LEMAHNYA PERLINDUNGAN GURU DI INDONESIA

Penulis: Oleh: Subardi (Staf Pusat Studi Melayu [PSM] dan dosen STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik)
para penekun profesi guru saat ini tidak begitu memperhatikan hak dan kewajiban sebagai penyandang profesi guru. Salah satu indikasinya, baik guru maupun penyelenggara pendidikan seringkali lalai membuat semacam kontrak kerja yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan demikian, ketika terjadi perselisihan semestinya kontrak kerja itulah yang menjadi jalan bagi penyelesaiannya

Awal September lalu, telah terjadi peristiwa pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Hermanto Wijaya (52), guru honorer Bahasa Mandarin SMA Harapan Sungailiat oleh pihak yayasan (Bangka Pos,10/10) dan kembali diberitakan ketika korban melapor ke Dinas Pendidikan dan berencana melanjutkan laporannya ke Dinas Tenaga Kerja (Bangka Pos,23/10 dan 1/11).

Patut disayangkan, peristiwa ini tidak mendapat perhatian luas dari rekan sejawatnya, baik guru maupun dosen yang berstatus pegawai negeri maupun swasta. Hal ini nampak dari minimnya tanggapan dan komentar atas pemberitaan tersebut. Padahal terdapat beberapa pertimbangan yang patut menjadi alasan bahwa peristiwa ini layak mendapat perhatian luas.

Pertama, sejak tahun 2005, telah ada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang menyatakan bahwa guru merupakan profesi yang secara hukum -tanpa membedakan status kepegawaiannya, guru harus diperlakukan secara profesional pula. Padahal tidak banyak profesi yang mendapat perhatian istimewa dengan memiliki undang-undang tersendiri seperti halnya profesi guru.

Kedua, korban kali ini adalah Staf Khusus Gubernur Bidang Bahasa dan Pariwisata. Ini menandakan jika yang bersangkutan ‘bukan orang biasa’. Jika Hermanto Wijaya saja kurang mendapat perhatian, bagaimana jika suatu saat terjadi pada guru dari kalangan ‘biasa?. Ketiga, bulan Oktober di mana bulan pemberitaan peristiwa ini— merupakan bulan penting bagi penyandang profesi guru. Tepatnya tanggal 5 Oktober secara internasional diperingati sebagai World Teacher’s Day. Bulan ini mestinya para guru lebih sensitif terhadap profresi yang digelutinya.

Refleksi

Di balik kurangnya perhatian terhadap kasus tersebut, dapat dianggap bahwa peristiwa semacam ini sudah dianggap biasa saja. Singkat kata, sudah menjadi resiko yang harus ditanggung para penyandang profesi guru diperlakukan semaunya. Selain itu, belum tumbuh sikap profesional para penyandang predikat guru dan dosen bahwa yang sedang mereka geluti adalah sebuah profesi. Sebuah profesi selayaknya hanya bisa ditekuni oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan tertentu saja.

Asumsi di atas didasari pada kenyataan yang sering muncul di masyarakat bahwa profesi guru sering dianggap hanya pekerjaan alternatif bagi orang terdidik, ketika pekerjaan lain tidak diperoleh. Hal ini dimungkinkan ketika akses menjadi guru sangat mudah, cukup bermodal asal mau. Akibatnya, para penekun profesi guru saat ini tidak begitu memperhatikan hak dan kewajiban sebagai penyandang profesi guru.

Salah satu indikasinya, baik guru maupun penyelenggara pendidikan seringkali lalai membuat semacam kontrak kerja yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan demikian, ketika terjadi perselisihan semestinya kontrak kerja itulah yang menjadi jalan bagi penyelesaiannya. Tugas guru seringkali dipahami tidak lebih sebagai penanggung jawab di sekolah, terutama di kelas. Akibat lebih jauh lagi, lahir rasa ketidak-berdayaan dan ketidak-percayaan diri para penyandang profesi guru sehingga merasa rela diperlakukan sememan-mena. Padahal, seperti dikemukakan Meister (Suparlan, 2005), “Profesional is prodominantly an attitude, not a set of competences”.

Artinya, profesionalisme sama sekali bukan hanya masalah kompetensi melainkan juga masalah sikap, yakni sikap guru, yang mau dan mampu menjadi profesional. Jika sikap profesional sudah tidak dimiliki apa yang mesti diharapkan pada guru untuk meningkatkan mutu pendidikan.

PHK Guru dan UUGD

Kasus-kasus lain seperti yang menimpa Hermanto Wijaya sudah sering terjadi. Misalnya, kasus Sukirman Wintoro (37), salah seorang guru SMP Salman Alfarisi, Bandung (Pikiran Rakyat, 27/11/06) yang di PHK dan kemudian harus memperjuangkan nasibnya ke Disnaker dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) meski kemudian setelah melalui jalan panjang tidak membuahkan hasil yang memuaskan.

Diyono Suwito, guru Bahasa Inggris SMAN 3 Ponorogo dipaksa untuk melepaskan profesi sebagai guru dan dialih-tugaskan menjadi penyuluh lapangan keluarga berencana (PLKB) di Desa Sukosari, Kecamatan Babadan, dan diturunkan pangkatnya satu tingkat dari golongan IIIC menjadi IIIB, setelah melaporkan Bupati Ponorogo ke Polwil Madiun dalam kasus dugaan penyimpangan pendaftaran CPNS 2006 (Harian Surya, 16/4/07).

Pengalaman Kak Wes, seorang pendongeng di Yogyakarta, ketika membangun kerjasama dengan salah satu MI swasta di Kecamatan Triharjo, Bantul dalam bentuk pengembangan kurikulum dan metode pembelajaran yang lebih kontekstual. Program ini mendapat sambutan positif dari orangtua siswa. Tapi kemudian program ini harus dihentikan, karena Kepala Sekolahnya diancam oleh Pengawas akan dipindahtugaskan jika tidak mau menghentikan program tersebut (Darmaningtyas, 2005).

Pertanyaan berikutnya, kemana guru harus mengadu dan mengapa UUGD membisu? Secara prinsip terdapat aspek penting yang diatur dalam UUGD, yakni perlindungan dan sanksi. Berkaitan dengan aspek tersebut, pada Pasal 39 disebutkan bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara pendidikan, satuan pendidikan, dan/atau organisasi profesi wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas” (Ayat 1); dan “perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja” (Ayat 2).

Tidak hanya itu, Departemen Pendidikan Nasional bahkan telah membentuk Direktorat Profesi Pendidikan yang menangani bidang Penghargaan dan Perlindungan guru. Di samping itu, Diknas telah menandatangani Kontrak Kerja dengan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum PGRI di 33 provinsi (Kompas, 20 Juni 2007).

Berkaitan dengan perlindungan profesi guru artinya membahas aspek organisasi profesi guru, dan perlindungan serta sanksi. Pada aspek perlindungan dan sanksi, tidak ada pasal dalam UUGD yang menegaskan sanksi bagi yang tidak melaksanakannya. Sehingga dalam implementasi UUGD tidak lebih dari ‘macan kertas’. Begitu juga ketika harapan perlindungan guru digantungkan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Faktanya guru tidak diakui sebagai pekerja (buruh) sehingga banyak sekali kekosongan, ketidaksesuaian dan pertentangan jika guru berharap padanya (Wahyuandari, 2006). Sedangkan pada aspek organisasi profesi guru yang berkaitan langsung dengan aspek perlindungan, di dalam UUGD, aspek organisasi profesi tidak disebutkan secara jelas apa dan bagaimana organisasi profesi itu dan kapan ia mesti dibentuk, sekalipun di lapangan menunjukkan banyak sekali organisasi yang mengaku organisasi profesi guru. Padahal jika mengacu undang-undang profesi advokat jelas sekali batas waktu pembentukannya.

Namun demikian bukan berarti UUGD tidak dapat dijadikan pegangan. Sebab seperti dikemukakan Nawawi dan Martini (1994) serta Az. Nasution, (1995), bahwa sebuah produk hukum, termasuk UUGD, akan dipatuhi atau tidak akan bergantung pada dua faktor, yakni: kekuasaan dan kekuatan hukum. Menurut faktor kekuasaan hukum, ketaatan timbul bukan karena sanksi, tetapi disebabkan anggota masyarakat merasa norma-norma tersebut dapat menciptakan ketertiban, keadilan, dan kedamaian.

Sedangkan faktor kekuatan hukum ketaatan terjadi dikarenakan adanya badan atau orang yang memiliki kewenangan mengawasi pelaksanaannya dan menjatuhkan sanksi bilamana anggota masyarakat tidak mematuhinya. Paling tidak, faktor kekuasaan hukum di atas cukup dijadikan sebagai pegangan bagi penyandang profesi pendidik untuk membangun sistem perlindungan diri.

Mencermati kondisi tersebut, tidak ada pilihan lain bagi guru selain harus bersatu membangun sistem profesionalisme sendiri melalui self regulation dengan membentuk organisasi profesi yang dapat mengayomi kepentingan guru melalui penegakan kode etik profesi. Sebagai sebuah profesi, sistem profesionalisme akan lebih bayak ditentukan oleh organisasi profesi itu sendiri. (*)
indeks Opini lain | kembali-ke: bangkapos.com

kurikulum nasional

KURIKULUM INDONESIA
By goeroe oekir

Raja hutan beserta para pembantunya bermaksud membuat sekolah untuk semua binatang kecil ( anak-anak mereka ) yang ada di suatu hutan , dalam rapat para pimpinan hutan mereka memutuskan untuk mewajibkan semua anak-anak mereka untuk mengikuti pelajaran memanjat, berlari, terbang, berenang, menggali dan melompat . mereka meutuskan agar semua murid wajib mengikuti kurikulum yang sama tersebut.

Kita tentu tahu karakter rusa yang ahli berlari, nah suatu saat sang rusa hampir tenggelam saat mengikuti kelas (mata pelajaran) berenang. Dan pengalaman mengikuti kelas berenang sangat membuat batinnya terguncang, dia merasa seperti tidak punya potensi lagi. Lama-kelamaan, karena sibuk mengurusi pelajaran berenang, dan harus mengikuti pelajaran tambahan berenang, si rusa pun tidak lagi dapat berlari secepat sebelumnya. Karena dia sudah mulai jarang melatih keahlian alaminya.

Kita juga tentu tahu karakter burung elang. Yang sangat pandai terbang. Namun, ketika mengikuti kelas menggali, si elang tidak mampu menjalani tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Dan akhirnya, ia juga harus mengikuti les tambahan menggali. Les itu banyak menyita waktunya, sehingga ia melupakan cara terbang yang sebelumnya sangat dikuasainya.

Demikian pula dengan dengan kancil , binatang yang terkenal pintar dan cerdik dia tidak bisa mengembangkan kemampuan dasarnya sebagai kancil yang pintar dan cerdik karena sibuk mengikuti les privat berenang, menggali dan terbang, sampai kapanpun kancil tidak akan dapat berenang, tetapi pengelola pendidikan hutan tersebut tidak peduli dan di akhir pelajaran sekolah mereka akan di uji dengan ujian yang sama yaitu tentang memanjat, berlari, terbang, berenang, menggali dan melompat.
Bisa dibayangkan standar kenaikan kelas di hutan tersebut seperti apa ? Tidak akan lulus jika nilai memanjat, berenang, melompat, menggali tidak mencapai nilai 5,25

Demikianlah kesulitan demi kesulitan melanda juga binatang-binatang lain, seperti bebek, burung pipit, ular dll. Para binatang kecil itu tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berprestasi dalam bidang keahliannnya mereka masing-masing.
Ini lantaran mereka dipaksa melakukan hal-hal yang tidak menghargai sifat-sifat asli mereka. "

Begitulah sekolah kita hari ini, persis seperti sekolah dunia binatang. Anak-anak dipaksa untuk mengikuti semua mata pelajaran yang bahkan tidak disukai mereka dan malah melupakan kemampuan alamiah mereka di bidang lain. Seperti misalnya, anak yang cerdas dalam berbahasa inggris, tapi tidak cerdas dalam matematika akan mengurangi kemampuan bahasa inggrisnya, karena harus mengikuti les tambahan matematika setiap hari, sehingga tidak mempunyai waktu untuk mengasah kemampuannya dalam berbahasa inggris. Alhasil, anak tersebut tetap tidak cerdas dalam matematika, juga tidak terampil dalam berbahasa inggris.

Apakah kita mau anak-anak kita tidak mempunyai keterampilan sama sekali? Atau apakah kita mau, demi bidang yang satu, anak kita menjadi hilang potensinya di bidang yang lain? Tentu jawabnya tidak. Dan saya harap semua orang tua sepakat juga menjawab tidak.

Secara faktual sangat jarang orang yang mempunyai kemampuan yang sempurna yaitu mereka menguasai semua bidang (Olahraga ( berenang, berlari, permainanan bola dsb ) , matematika ( aljabar, geometri, aritmetika dsb ) , kesenian ( bermain alat musik, menyanyi dsb ), IPA, IPS, Agama,dan lain sebagainya .


Sekolah hari ini tidak mampu mengakomodir kebutuhan siswa. Bahkan bisa-bisa membunuh potensi siswa yang beragam dengan kurikulum yang sama rata. Padahal kita tahu bahwa setiap anak mempunyai bakat dan minat alamiah yang berbeda-beda. Kelemahan lain pendidikan kita saat ini adalah bahwa penilaian/evaluasi dilakukan dengan angka-angka yang tertera di raport. Akan mudah terlihat mana anak cerdas dan anak yang tidak cerdas. Padahal, anak yang pintar berdasarkan nilai raport bisa jadi memang benar-benar cerdas. Tapi harus diingat mungkin ia cerdas dalam bidang akademik. Anak lain yang nilai rapornya rendah jangan langsung dianggap bodoh. Bisa jadi ia kurang berminat di bidang eksakta, mungkin berminat di bidang lainnya seperti seni dan sastra ataupun olah raga. Nah disinilah peranan sekolah sangat dibutuhkan, yaitu melihat potensi siswa dan mengembangkannya menjadi potensi yang teraktualisaikan. Sekolah harus menjadi akselerator untuk menyuburtumbuhkan beragam potensi siswa, sehingga dengan demikian siswa mampu mengarungi kehidupan ini dengan bekal ketrampilan hidup yang dimilikinya ditambah dengan arahan dari sekolah. Nah dari sekolah model ini akan lahir manusia-manusia unggul yang semuanya mampu memancarkan potensinya dengan cemerlang. Karena sekali lagi, bukanlah siswa yang bodoh, tapi yang ada hanyalah siswa yang lebih unggul di bidang yang berbeda.

” MENGAJARKAN BERHITUNG PADA ANAK TIDAK LEBIH PENTING DARI MENGAJARKAN APA YANG SEMESTINYA MEREKA HITUNG ”

Inspired dan disadur from tarmiji

Rabu, 17 Desember 2008

INTROSPEKSI

INTROSPEKSI

“Anak-anak, coba tuliskan tiga kelebihanmu, ” kata seorang Guru yang hari itu menjadi pembimbing bagi anak-anak sekolah dasar.
Menit demi menit berlalu namun anak-anak itu seakan masih bingung.
Dengan setengah berakting, sang Guru kemudian bersuara keras : “Ayo, tuliskan! Kalau ngga, kertasmu saya sobek lo.” Anak-anak manis itu seketika menjadi salah tingkah.
Beberapa di antara mereka, memang tampak mulai menulis. Salah satu di antara mereka menulis di atas kertas, “Kadang-kadang nurutin kata ibu. Kadang-kadang bantu ibu. Kadang-kadang nyuapin adik makan.”
Penuh rasa penasaran, sang Guru bertanya kepadanya : “Kenapa tulisnya kadang-kadang? “. Dengan wajah penuh keluguan, sang bocah hanya berkata : “Emang cuma kadang-kadang, Guru.”
Ketika semua anak telah menuliskan kelebihan dirinya, sang Guru kemudian melanjutkan instruksi berikutnya : “Sekarang anak-anak, coba tuliskan tiga kelemahanmu atau hal-hal yang buruk dalam dirimu.”
Seketika ruangan kelas menjadi gaduh. Anak-anak tampak bersemangat. Salah satu dari mereka angkat tangan dan bertanya : “Tiga saja, Guru?”. “Ya, tiga saja!” jawab Guru. Anak tadi langsung menyambung : “Guru, jangankan tiga, sepuluh juga bisa!”.
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari cerita sederhana itu? Saya menangkap setidaknya ada beberapa hal penting yang bisa kita pelajari.
Salah satunya, kita sering tidak menyadari apa kelebihan diri kita karena lingkungan dan orang di sekitar kita jauh lebih sering mengkomunikasikan kepada kita kejelekan dan kekurangan kita.
Baru-baru ini, saya dan istri saya menyaksikan di sebuah televisi swasta pertunjukkan seni dari para penyandang cacat. Kami benar-benar terharu. Ada orang buta yang begitu piawai bermain piano atau kecapi. Pria tanpa lengan dan wanita muda yang tuli dapat menari dengan begitu indahnya. “Luar biasa, dia bisa menari dengan penuh penghayatan. Yang membuat saya heran, dia kan tuli tapi kok bisa mengikuti irama lagu dengan sangat tepat?”, kata istri saya terkagum-kagum.
Seorang pria buta yang bernyanyi dengan nada merdu sempat berkata, “Saudaraku, saya memiliki dua mata seperti Anda. Namun yang ada di depan saya hanyalah kegelapan. Ibu saya mengatakan saya bisa bernyanyi, dan ia memberi saya semangat untuk bernyanyi.”
Benarlah apa yang dikatakan Alexander Graham Bell : “Setelah satu pintu tertutup, pintu lainnya terbuka; tetapi kerap kali kita terlalu lama memandangi dan menyesali pintu yang telah tertutup sehingga kita tidak melihat pintu yang telah dibuka untuk kita.”
Fokuskan perhatian pada kelebihan kita dan bukan kelemahan kita. ****
sumber : warnet bandut

Selasa, 16 Desember 2008

alumnisaf


Fahmi Machda ( Machmud-Ida )


Fahmi Machda
Surabaya, 16 Mei 2005
Wawancara dengan Fahmi*

Assalamu?alaikum, Mas Fahmi boleh nanya?
Wa?alaikum Salam Wa Rahmatullah Wa Barokatuh, Boleh?

Setelah lahir di Dunia, Apa yang Anda mau?
18 tahun lalu di Bandung, pengorbanan yang besar telah membuat aku lahir ke dunia. Seorang manusia yang telah ditakdirkan ? mau tidak mau - untuk menjadi kholifah di muka bumi. Entah apa bentuk konkretnya. Yang jelas sekarang saya masih tetap mencari bentuk terbaik untuk menjadi kholifah. ?Sekarang? bukan pada waktu tulisan ini aku tulis, tetapi di waktu saudara membaca.

Bagi saya sendiri, bentuk terbaik adalah yang sekarang saya hadapi. Dengan bentuk itu saya menanamkan pada diri ini, saya bisa beribadah lebih kepada Allah di sini. Memang sih baru -baru saja paham kalau hidup ini adalah ibadah kepada-Nya. Jika kita sudah benar meyakini kalau hidup ini hanya untuk Allah, maka kita akan selalu mencari ridho Allah. Jika kita sudah meyakini suatu bentuk yang Allah ridhoi, maka kita akan bersungguh-sungguh melakukan yang terbaik untuk menyempurnakannya.

Bentuk, apa yang Anda maksud dengan itu?
Saya bisa beri contoh kepada saudara. Pada tanggal ini saya adalah anak laki-laki dari orang tua saya, mahasiswa Planologi ITS, Lulusan Pesantren Assalaam Solo, dan Wartawan ITS Online. Bentuk adalah semuanya yang saya sebut tadi dan segala macam hal yang dihasilkan atau berkaitan dengan bentuk awalnya.

Misalnya, bentuk pertama adalah anak laki-laki dari Orang tua. Alhamdulillah sampai hari ini Ibu dan Bapak saya masih sehat. Kakak dan dua adik saya insya Allah juga masih sehat. Tanggung jawab seorang anak laki-laki kepada orang tuanya yang masih hidup adalah bentuk lain yang berkaitan dengan bentuk yang pertama. Juga menjaga persaudaraan antara kakak dan adik saya juga termasuk bentuk lainnya dari yang pertama.

Kita semua sudah paham bahwa bentuk yang pertama adalah Allah yang menentukan dan sudah tentu Allah juga langsung meridhoi. Salah satu cara menyempurnakannya adalah dengan menjadi anak yang sholeh agar nantinya bisa menjadi amal jariyah bagi kedua orang tua. Untuk bentuk lainnya, bisa kita cari sendiri cara menyempurnakannya, tentu saja harus memohon petunjuk dari Allah. Cara mendapatkannya, insya Allah dengan mendekatkan diri pada-Nya dengan Sholat Tahajjud dan Istikhoroh.

Mahasiswa Planologi ITS, mengapa Anda memilih jurusan itu? Dan kenapa di ITS?
Saya lahir di Bandung, sampai kelas 6 SD Islam Salman Al-Farisi. Lalu saya merantau ke Solo sampai lulus SMA. Saat kembali ke Bandung, saya merasakan banyak yang berubah di sana, makin panas kalau siang dan makin dingin kalau malam serta makin kotor. Bahkan sekitar sebulan lalu, kotornya kota Bandung terungkap dengan longsornya sampah di TPA Leuwi Gajah.

Sebagai tanah kelahiranku yang berubah semakin jelek khususnya dalam masalah kebersihan, saya teramat sedih. Saya sempat tertarik jurusan Teknik informatika, Teknik Kimia, bahkan Desain Grafis. Tapi saya berpikir, apa masalah yang ingin saya segera hadapi? Saya menjawab dalam diri saya, kota Bandung yang kotor dan tidak tertata. Juga sekarang saya melihat masalah yang lain tapi hampir serupa, yaitu Kota-kota di Aceh yang terkena tsunami. Saya memilih Planologi karena ingin membersihkan Kota Bandung, kota di Aceh, dan wilayah lainnya.

Saya memilih kampus ITS, yang pertama karena saya sudah berjanji dalam surat lamaran PMDK saya untuk menggunakan kesempatan menjadi mahasiswa ITS dengan sebaik-baiknya, dan saya melaksanakan janji saya. Juga saat itu, pamor ITS lagi naik di Jawa Tengah, mulai dari berita menang Kontes Robot sampai menang Marine Challenge. Sedangkan pada saat yang sama kampus lain tidak bergema. Dan insya Allah, Allah sudah menentukan yang terbaik bagi hambanya, kita semua.

? ? ?, (bingung mau nanya apa ?)
udah abis ya pertanyaanya?, kalau mau nanya lebih banyak, bisa kirim email ke greleaf@yahoo.com. Juga kalo mau liat karya desainku untuk menunjukan ketertarikan saya di bidang grafis, bisa dilihat di www.geocities.com/greleaf juga buka www.machda.com situs grafis karya-karya kakak saya.

Insya Allah nanti saya liat. Makasih banyak ya, sudah mau jawab pertanyaan saya,
Alhamdulillah, sama-sama. Tapi kalau ada yang salah atau kata-kata menyakitkan maafin Fahmi ya...
*Fahmi Machda 3604100010

Sumber : Redaksi ITS Surabaya

Senin, 15 Desember 2008

GEDUNG SATE DULU DAN SEKARANG





di sini jual ikan segar




Saat Harus Memuaskan Setiap Orang

Seseorang mulai berjualan ikan segar dipasar. Ia memasang papan pengumuman bertuliskan DI SINI JUAL IKAN SEGAR.

Tidak lama kemudian datanglah seorang pengunjung yang menanyakan tentang tulisannya.
Mengapa kau tuliskan kata :DISINI? Bukankah semua orang sudah tau kalau kau berjualan DISINI, bukan DISANA?.

Benar juga! pikir si penjual ikan, lalu dihapusnya kata DISINI dan tinggallah tulisan JUAL IKAN SEGAR.

Tidak lama kemudian datang pengunjung kedua yang juga menanyakan tulisannya.
Mengapa kau pakai kata SEGAR? bukankah semua orang sudah tau kalau yang kau jual adalah ikan segar, bukan ikan busuk?

Benar juga pikir si penjual ikan, lalu dihapusnya kata SEGAR dan tinggallah tulisan JUAL IKAN

Sesaat kemudian datanglah pengunjung ke tiga yang juga menanyakan tulisannya : Mengapa kau tulis kata JUAL? bukankah semua orang sudah tau kalau ikan ini untuk dijual, bukan dipamerkan?

Benar juga pikir si penjual ikan, lalu dihapusnya kata JUAL dan tinggalah tulisan IKAN.

Selang beberapa waktu kemudian, datang pengunjung ke 4, yang juga menanyakan tulisannya : Mengapa kau tulis kata IKAN?, bukankah semua orang sudah tau kalau ini Ikan bukan Daging?.

Benar juga pikir sipenjual ikan, lalu diturunkannya papan pengumuman itu.

Renungan : Bila kita ingin memuaskan semua orang, kita takkan mendapatkan apa-apa