A L U M N I S A F

MEDIA KOMUNIKASI PARA ALUMNI
TK - SD - SMP - SMA SALMAN AL FARISI
GURU - SISWA - KARYAWAN - ORANG TUA

Jumat, 19 Desember 2008

Guru Di-PHK, Kemana Harus Mengadu?

LEMAHNYA PERLINDUNGAN GURU DI INDONESIA

Penulis: Oleh: Subardi (Staf Pusat Studi Melayu [PSM] dan dosen STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik)
para penekun profesi guru saat ini tidak begitu memperhatikan hak dan kewajiban sebagai penyandang profesi guru. Salah satu indikasinya, baik guru maupun penyelenggara pendidikan seringkali lalai membuat semacam kontrak kerja yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan demikian, ketika terjadi perselisihan semestinya kontrak kerja itulah yang menjadi jalan bagi penyelesaiannya

Awal September lalu, telah terjadi peristiwa pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Hermanto Wijaya (52), guru honorer Bahasa Mandarin SMA Harapan Sungailiat oleh pihak yayasan (Bangka Pos,10/10) dan kembali diberitakan ketika korban melapor ke Dinas Pendidikan dan berencana melanjutkan laporannya ke Dinas Tenaga Kerja (Bangka Pos,23/10 dan 1/11).

Patut disayangkan, peristiwa ini tidak mendapat perhatian luas dari rekan sejawatnya, baik guru maupun dosen yang berstatus pegawai negeri maupun swasta. Hal ini nampak dari minimnya tanggapan dan komentar atas pemberitaan tersebut. Padahal terdapat beberapa pertimbangan yang patut menjadi alasan bahwa peristiwa ini layak mendapat perhatian luas.

Pertama, sejak tahun 2005, telah ada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang menyatakan bahwa guru merupakan profesi yang secara hukum -tanpa membedakan status kepegawaiannya, guru harus diperlakukan secara profesional pula. Padahal tidak banyak profesi yang mendapat perhatian istimewa dengan memiliki undang-undang tersendiri seperti halnya profesi guru.

Kedua, korban kali ini adalah Staf Khusus Gubernur Bidang Bahasa dan Pariwisata. Ini menandakan jika yang bersangkutan ‘bukan orang biasa’. Jika Hermanto Wijaya saja kurang mendapat perhatian, bagaimana jika suatu saat terjadi pada guru dari kalangan ‘biasa?. Ketiga, bulan Oktober di mana bulan pemberitaan peristiwa ini— merupakan bulan penting bagi penyandang profesi guru. Tepatnya tanggal 5 Oktober secara internasional diperingati sebagai World Teacher’s Day. Bulan ini mestinya para guru lebih sensitif terhadap profresi yang digelutinya.

Refleksi

Di balik kurangnya perhatian terhadap kasus tersebut, dapat dianggap bahwa peristiwa semacam ini sudah dianggap biasa saja. Singkat kata, sudah menjadi resiko yang harus ditanggung para penyandang profesi guru diperlakukan semaunya. Selain itu, belum tumbuh sikap profesional para penyandang predikat guru dan dosen bahwa yang sedang mereka geluti adalah sebuah profesi. Sebuah profesi selayaknya hanya bisa ditekuni oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan tertentu saja.

Asumsi di atas didasari pada kenyataan yang sering muncul di masyarakat bahwa profesi guru sering dianggap hanya pekerjaan alternatif bagi orang terdidik, ketika pekerjaan lain tidak diperoleh. Hal ini dimungkinkan ketika akses menjadi guru sangat mudah, cukup bermodal asal mau. Akibatnya, para penekun profesi guru saat ini tidak begitu memperhatikan hak dan kewajiban sebagai penyandang profesi guru.

Salah satu indikasinya, baik guru maupun penyelenggara pendidikan seringkali lalai membuat semacam kontrak kerja yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan demikian, ketika terjadi perselisihan semestinya kontrak kerja itulah yang menjadi jalan bagi penyelesaiannya. Tugas guru seringkali dipahami tidak lebih sebagai penanggung jawab di sekolah, terutama di kelas. Akibat lebih jauh lagi, lahir rasa ketidak-berdayaan dan ketidak-percayaan diri para penyandang profesi guru sehingga merasa rela diperlakukan sememan-mena. Padahal, seperti dikemukakan Meister (Suparlan, 2005), “Profesional is prodominantly an attitude, not a set of competences”.

Artinya, profesionalisme sama sekali bukan hanya masalah kompetensi melainkan juga masalah sikap, yakni sikap guru, yang mau dan mampu menjadi profesional. Jika sikap profesional sudah tidak dimiliki apa yang mesti diharapkan pada guru untuk meningkatkan mutu pendidikan.

PHK Guru dan UUGD

Kasus-kasus lain seperti yang menimpa Hermanto Wijaya sudah sering terjadi. Misalnya, kasus Sukirman Wintoro (37), salah seorang guru SMP Salman Alfarisi, Bandung (Pikiran Rakyat, 27/11/06) yang di PHK dan kemudian harus memperjuangkan nasibnya ke Disnaker dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) meski kemudian setelah melalui jalan panjang tidak membuahkan hasil yang memuaskan.

Diyono Suwito, guru Bahasa Inggris SMAN 3 Ponorogo dipaksa untuk melepaskan profesi sebagai guru dan dialih-tugaskan menjadi penyuluh lapangan keluarga berencana (PLKB) di Desa Sukosari, Kecamatan Babadan, dan diturunkan pangkatnya satu tingkat dari golongan IIIC menjadi IIIB, setelah melaporkan Bupati Ponorogo ke Polwil Madiun dalam kasus dugaan penyimpangan pendaftaran CPNS 2006 (Harian Surya, 16/4/07).

Pengalaman Kak Wes, seorang pendongeng di Yogyakarta, ketika membangun kerjasama dengan salah satu MI swasta di Kecamatan Triharjo, Bantul dalam bentuk pengembangan kurikulum dan metode pembelajaran yang lebih kontekstual. Program ini mendapat sambutan positif dari orangtua siswa. Tapi kemudian program ini harus dihentikan, karena Kepala Sekolahnya diancam oleh Pengawas akan dipindahtugaskan jika tidak mau menghentikan program tersebut (Darmaningtyas, 2005).

Pertanyaan berikutnya, kemana guru harus mengadu dan mengapa UUGD membisu? Secara prinsip terdapat aspek penting yang diatur dalam UUGD, yakni perlindungan dan sanksi. Berkaitan dengan aspek tersebut, pada Pasal 39 disebutkan bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara pendidikan, satuan pendidikan, dan/atau organisasi profesi wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas” (Ayat 1); dan “perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja” (Ayat 2).

Tidak hanya itu, Departemen Pendidikan Nasional bahkan telah membentuk Direktorat Profesi Pendidikan yang menangani bidang Penghargaan dan Perlindungan guru. Di samping itu, Diknas telah menandatangani Kontrak Kerja dengan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum PGRI di 33 provinsi (Kompas, 20 Juni 2007).

Berkaitan dengan perlindungan profesi guru artinya membahas aspek organisasi profesi guru, dan perlindungan serta sanksi. Pada aspek perlindungan dan sanksi, tidak ada pasal dalam UUGD yang menegaskan sanksi bagi yang tidak melaksanakannya. Sehingga dalam implementasi UUGD tidak lebih dari ‘macan kertas’. Begitu juga ketika harapan perlindungan guru digantungkan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Faktanya guru tidak diakui sebagai pekerja (buruh) sehingga banyak sekali kekosongan, ketidaksesuaian dan pertentangan jika guru berharap padanya (Wahyuandari, 2006). Sedangkan pada aspek organisasi profesi guru yang berkaitan langsung dengan aspek perlindungan, di dalam UUGD, aspek organisasi profesi tidak disebutkan secara jelas apa dan bagaimana organisasi profesi itu dan kapan ia mesti dibentuk, sekalipun di lapangan menunjukkan banyak sekali organisasi yang mengaku organisasi profesi guru. Padahal jika mengacu undang-undang profesi advokat jelas sekali batas waktu pembentukannya.

Namun demikian bukan berarti UUGD tidak dapat dijadikan pegangan. Sebab seperti dikemukakan Nawawi dan Martini (1994) serta Az. Nasution, (1995), bahwa sebuah produk hukum, termasuk UUGD, akan dipatuhi atau tidak akan bergantung pada dua faktor, yakni: kekuasaan dan kekuatan hukum. Menurut faktor kekuasaan hukum, ketaatan timbul bukan karena sanksi, tetapi disebabkan anggota masyarakat merasa norma-norma tersebut dapat menciptakan ketertiban, keadilan, dan kedamaian.

Sedangkan faktor kekuatan hukum ketaatan terjadi dikarenakan adanya badan atau orang yang memiliki kewenangan mengawasi pelaksanaannya dan menjatuhkan sanksi bilamana anggota masyarakat tidak mematuhinya. Paling tidak, faktor kekuasaan hukum di atas cukup dijadikan sebagai pegangan bagi penyandang profesi pendidik untuk membangun sistem perlindungan diri.

Mencermati kondisi tersebut, tidak ada pilihan lain bagi guru selain harus bersatu membangun sistem profesionalisme sendiri melalui self regulation dengan membentuk organisasi profesi yang dapat mengayomi kepentingan guru melalui penegakan kode etik profesi. Sebagai sebuah profesi, sistem profesionalisme akan lebih bayak ditentukan oleh organisasi profesi itu sendiri. (*)
indeks Opini lain | kembali-ke: bangkapos.com

Tidak ada komentar: