KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILL)
Kecakapan hidup merupakan orientasi pendidikan yang mensinergikan mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, dimanapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya.
Kecakapan hidup (Life Skill) yaitu kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif, mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya.
Pengertian kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan vokasional atau keterampilan untuk bekerja. Orang yang tidak bekerja, misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pensiun, tetap memerlukan kecakapan hidup. Seperti halnya orang yang bekerja, mereka juga menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan. Orang yang sedang menempuh pendidikan pun memerlukan kecakapan hidup , karena mereka tentu juga memiliki permasalahannya sendiri. Bukankah dalam hidup ini, di manapun dan kapanpun, orang selalu menemui masalah yang memerlukan pemecahan?
Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya.
Untuk mewujudkan hal ini, perlu diterapkan prinsip pendidikan berbasis luas yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik atau vokasional semata, tetapi juga memberikan bekal learning how to learn sekaligus learning how to unlearn, tidak hanya belajar teori, tetapi juga mempraktekkannya untuk memecahkan problema kehidupan sehari-hari (Bently, 2000). Pendidikan yang mengitegrasikan empat pilar pendidikan yang diajukan oleh UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, and learning to live together.
HIDUP SPESIFIK
Kecakapan hidup yang bersifat spesifik (specific life skill/SLS) diperlukan seseorang untuk menghadapi problema bidang khusus tertentu. Untuk mengatasi problema “mobil yang mogok” tentu diperlukan kecakapan khusus tentang mesin mobil. Untuk memecahkan masalah dagangan yang tidak laku, tentu diperlukan kecakapan pemasaran . Untuk mampu melakukan pengembangan biologi molekuler tentunya diperlukan keahlian di bidang bio-teknologi.
Kecakapan hidup spesifik biasanya terkait dengan bidang pekerjaan (occupational), atau bidang kejuruan (vocational) yang ditekuni atau akan dimasuki. Kecakapan hidup seperti itu kadang-kadang juga disebut dengan kompetensi teknis ( technical competencies ) dan itu sangat bervariasi, tergantung kepada bidang kejuruan dan pekerjaan yang akan ditekuni. Namun demikian masih ada, kecakapan yang bersifat umum,yaitu bersikap dan berlaku produktif (to be a productive people). Artinya, apapun bidang kejuruan atau pekerjaan yang dipelajari, bersikap dan berperilaku produktif harus dikembangkan. Bidang pekerjaan biasanya dibedakan menjadi pekerjaan yang lebih menekankan pada keterampilan manual dan bidang pekerjaan yang menekankan pada kecakapan berpikir. Terkait dengan itu, pendidikan kecakapan hidup yang bersifat spesifik juga dapat dipilah menjadi kecakapan akademik (academic skill) dan kecakapan vokasional (vocational skill)
Latar Belakang
Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan. Dalam setiap GBHN dan REPELITA selalu tercantum bahwa peningkatan mutu merupakan salah satu prioritas pembangunan di bidang pendidikan. Berbagai inovasi dan program pendidikan juga telah dilaksanakan. Namun demikian berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih belum meningkat secara signifikan. NEM SD sampai Sekolah Menengah relatif rendah dan tidak mengalami peningkatan yang berarti. Dari sisi perilaku keseharian siswa, banyak terjadi ketidak kepuasan masyarakat. Tawuran antar siswa kini sudah menjadi berita biasa. Tawuran kini sudah menjalar sampai ke SLTP di kota kabupaten. Dari dunia usaha juga muncul keluhan bahwa lulusan yang memasuki dunia kerja belum memiliki kesiapan kerja yang baik. Ketidakpuasan berjenjang juga terjadi, kalangan SLTP merasa bekal lulusan SD kurang baik untuk memasuki SLTP, kalangan SLTA merasa lulusan SLTP tidak siap mengikuti pembelajaran di Sekolah Menengah, dan kalangan perguruan tinggi merasa bekal lulusan SLTA belum cukup untuk mengikuti perkuliahan.
Kini juga muncul gejala lulusan SLTP dan SLTA banyak yang menjadi pengangguran di pedesaan, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Sementara itu, mereka merasa malu jika harus membantu orangtuanya sebagai petani atau pedagang. Terkait dengan itu, studi Blazely dkk. (1997) melaporkan bahwa pembelajaran di sekolah cenderung sangat teoretik dan tidak terkait dengan lingkungan di mana anak berada. Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah guna memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan seakan mencabut peserta didik dari lingkungannya sehingga menjadi asing di masyarakatnya sendiri.
Hasil penilaian terhadap HDI maupun hasil survai TIMSS-R 1999 dan PERC dengan 17 indikatornya, serta fenomena yang ditemukan di tanah air perlu direnungkan secara sungguh-sungguh. Fakta itu menunjukkan bahwa upaya peningkatan mutu yang selama ini dilakukan belum mampu memecahkan masalah dasar pendidikan di Indonesia. Pada hal pendidikan yang bermutu merupakan syarat pokok untuk peningkatan mutu SDM dalam memasuki era kesejagatan. Sejarah menunjukkan negara yang memperhatikan mutu pendidikan ternyata mengalami perkembangan yang mengagumkan, seakan membuktikan bahwa hasil pendidikan berupa sumberdaya manusia yang bermutu, menjadi modal dasar yang sangat kokoh bagi perkembangan suatu negara. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah penyempurnaan yang mendasar, konsisten dan sistematik.
Untuk maksud tersebut, pendidikan perlu dikembalikan kepada prinsip dasarnya, yaitu sebagai upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Pendidikan juga harus dapat mengembangkan potensi dasar peserta didik agar berani menghadapi problema yang dihadapi tanpa rasa tertekan, mampu dan senang meningkatkan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi. Pendidikan juga diharapkan mampu mendorong peserta didik untuk memelihara diri sendiri, sambil meningkatkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat dan lingkungannya.
Di samping itu perlu dikembangkan kesadaran bersama bahwa: (1) komitmen peningkatan mutu pendidikan merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia, baik sebagai pribadi-pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa, merupakan langkah strategis pembangunan nasional, sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dan (2) pemerataan daya tampung pendidikan harus disertai pemerataan mutu pendidikan, sehingga mampu menjangkau seluruh masyarakat.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa sangat diperlukan pola pendidikan yang dengan sengaja dirancang untuk membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yang secara integratif memadukan kecakapan generik dan spesifik guna memecahkan dan mengatasi problema kehidupan. Pendidikan haruslah fungsional dan jelas manfaatnya bagi peserta didik, sehingga tidak sekedar merupakan penumpukan pengetahuan yang tidak bermakna. Pendidikan harus diarahkan untuk kehidupan anak didik dan tidak berhenti pada penguasaan materi pelajaran.
Tantangan Masa Depan
Secara internasional, sejak 1 Januari 2003 AFTA ( Asean Free Trade Area ) dan AFLA ( Asean Free Labour Area ) telah dimulai, yang berarti sejak saat itu persaingan tenaga kerja akan menjadi terbuka. Konsekuensinya tenaga kerja kita harus mampu bersaing secara terbuka dengan tenaga kerja asing dari berbagai negara. Jika tidak, maka tenaga kerja Indonesia akan tersisih oleh tenaga kerja asing dari negeri jiran Malaysia, Philipina, Bangladesh, India, dan sebagainya, sehingga menjadi “penonton” di negeri sendiri. Pada hal selama ini tenaga kerja Indonesia belum mampu bersaing dengan tenaga kerja asing. Sekali lagi bidang pendidikan perlu secara aktif berperan mempersiapkan calon tenaga kerja agar mampu bersaing dengan rekan mereka dari negara lain.
Selain itu banyak ahli menyebutkan bahwa era informasi kini telah menggantikan era industri. Secara timbal balik dengan perkembangan ipteks, era informasi ternyata mampu mengubah pola kehidupan dan mempercepat pekerjaan. Orang kini harus siap menghadapi kenyataan bahwa pekerjaan yang ditekuni mengalami perubahan dan memerlukan peningkatan kecakapan untuk menanganinya. Bersamaan dengan itu, era kompetisi yang cenderung individualistik kini sudah bergeser ke era komunalitas, yang memerlukan kesadaran untuk saling mengerti dan saling membantu. Oleh karena itu, pendidikan kini juga harus memperhatikan perkembangan tersebut.
Permasalahan dan Pemecahan
Pendidikan kita selama ini berjalan dengan verbalistik dan berorientasi semata-mata kepada penguasaan mata pelajaran. Pengamatan terhadap praktek pendidikan sehari-hari menunjukkan bahwa pendidikan difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam materi pelajaran dan kemudian dievaluasi dari seberapa jauh penguasaan itu dicapai oleh siswa. Seakan-akan pendidikan bertujuan untuk menguasai matapelajaran. Bagaimana keterkaitan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari dan bagaimana materi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan problema kehidupan, kurang mendapat perhatian. Pendidikan seakan terlepas dari kehidupan keseharian, seakan-akan pendidikan untuk pendidikan atau pendidikan tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu siswa tidak mengetahui manfaat apa yang dipelajari dan sampai lulus seringkali tidak tahu bagaimana menggunakan apa yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari yang dihadapi.
Bertolak dari masalah tersebut, kiranya perlu dilakukan langkah-langkah agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yaitu kemampuan dan keberanian menghadapi problema kehidupan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran/mata diklat/mata-kuliah menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya.
Untuk mewujudkan hal ini, perlu diterapkan prinsip pendidikan berbasis luas yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik atau vokasional semata, tetapi juga memberikan bekal learning how to learn sekaligus learning how to unlearn, tidak hanya belajar teori, tetapi juga mempraktekkannya untuk memecahkan problema kehidupan sehari-hari (Bently, 2000). Pendidikan yang mengitegrasikan empat pilar pendidikan yang diajukan oleh UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, and learing to live together.
Tujuan & Manfaat
Tujuan
Secara umum pendidikan kecakapan hidup bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang. Secara khusus pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan untuk:
1. mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi;
2. merancang pendidikan agar fungsional bagi kehidupan peserta didik dalam menghadapi kehidupannya di masa datang;
3. memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan;
4. mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberi peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah .
Manfaat
Secara umum manfaat pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga negara. Jika hal itu dapat dicapai, maka faktor ketergantungan terhadap lapangan pekerjaan yang sudah ada dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap.
Konsep Dasar Kecakapan Hidup
Kecakapan hidup (life skill) adalah kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif, mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya.
Pengertian kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan vokasional atau keterampilan untuk bekerja. Orang yang tidak bekerja, misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pensiun, tetap memerlukan kecakapan hidup. Seperti halnya orang yang bekerja, mereka juga menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan. Orang yang sedang menempuh pendidikan pun memerlukan kecakapan hidup , karena mereka tentu juga memiliki permasalahannya sendiri. Bukankah dalam hidup ini, di manapun dan kapanpun, orang selalu menemui masalah yang memerlukan pemecahan?
Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi dua jenis utama, yaitu:
1. Kecakapan hidup yang bersifat generik (generic life skill/GLS), yang mencakup kecakapan personal (personal skill/PS) dan kecakapan sosial (social skill/SS). Kecakapan personal mencakup kecakapan akan kesadaran diri atau memahami diri (self awareness) dan kecakapan berpikir (thinking skill), sedangkan kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi (communication skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill).
2. Kecakapan hidup spesifik (specific life skill/SLS), yaitu kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau keadaan tertentu, yang mencakup kecakapan akademik (academic skill) atau kecakapan intelektual dan kecakapan vokasional (vocational skill). Kecakapan akademik terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran, sehingga mencakup kecakapan mengidentifikasi variabel dan hubungan antara satu dengan lainnya (identifying variables and describing relationship among them) , kecakapan merumuskan hipotesis (constructing hypotheses) , dan kecakapan merancang dan melaksanakan penelitian ( designing and implementing a research) . Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan vokasional mencakup kecakapan vokasional dasar (basic vocational skill) dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill) .
Kesadaran Diri
Kecakapan kesadaran diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, sebagai bagian dari lingkungan, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal untuk meningkatkan diri sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun lingkungannya.
Dengan kesadaran diri sebagai hamba Tuhan, seseorang akan terdorong untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, serta mengamalkan ajaran agama yang diyakininya. Pendidikan agama bukan dimaknai sebagai pengetahuan semata, tetapi sebagai tuntunan bertindak dan berperilaku, baik dalam hubungan antara dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya. Dengan kesadaran diri seperti itu, nilai-nilai agama dijadikan sebagai “roh” dari mata pelajaran lainnya.
Kesadaran diri merupakan proses internalisasi dari informasi yang diterima yang pada saatnya menjadi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan diwujudkan menjadi perilaku keseharian. Oleh karena itu, walaupun kesadaran diri lebih merupakan sikap, namun diperlukan kecakapan untuk menginternalisasi informasi menjadi nilai-nilai dan kemudian mewujudkan menjadi perilaku keseharian . Oleh karena itu dalam naskah ini, kesadaran diri dikategorikan sebagai suatu kecakapan hidup.
Kecakapan kesadaran diri tersebut dapat dijabarkan menjadi: (1) kesadaran diri sebagai hamba Tuhan, makhluk sosial, serta makhluk lingkungan, dan (2) kesadaran akan potensi yang dikaruniakan oleh Tuhan, baik fisik maupun psikologik .
Kesadaran diri sebagai hamba Tuhan diharapkan mendorong yang bersangkutan untuk beribadah sesuai dengan tuntunan agama yang dianut, berlaku jujur, bekerja keras, disiplin dan amanah terhadap kepercayaan yang dipegangnya. Bukankah prinsip itu termasuk bagian dari akhlak yang diajarkan oleh semua agama? Oleh karena itu, diharapkan agar mata pelajaran Agama dan Kewarganegaraan menanamkan prinsip-prinsip seperti itu, dan bersama guru mata pelajaran lain mengimplementasikan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dan kehidupan sehari-hari di sekolah.
Jujur, disiplin, amanah dan kerja keras tidak hanya dapat dikembangkan melalui mata pelajaran Agama dan Kewarganegaraan. Melalui mata pelajaran Matematika atau Fisika, juga dapat dikembangkan sikap jujur, misalnya tidak boleh memalsu data praktikum atau hasil perhitungan tertentu. Disiplin terhadap waktu maupun aturan yang telah disepakati dapat dikembangkan melalui setiap mata pelajaran, misalnya kapan dan bagaimana memulai kegiatan belajar, praktikum maupun kegiatan ekstra kurikuler. Amanah dikembangkan ketika menggunakan peralatan praktikum maupun perlengkapan sekolah lainnya. Kerja keras dapat dikembangkan dalam mengerjakan tugas-tugas, baik individual maupun kelompok.
Kesadaran diri bahwa manusia sebagai makhluk sosial akan mendorong yang bersangkutan untuk berlaku toleran kepada sesama, suka menolong dan menghindari tindakan yang menyakini orang lain. Bukankah memang Tuhan YME menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling menghormati dan saling membantu? Bukankah heterogenitas itu harmoni kehidupan yang seharusnya disinergikan? Nah, jika sikap itu bersumber dari kesadaran diri, maka pengawasan dari pihak lain menjadi tidak lagi penting, karena setiap orang akan mengontrol dirinya sendiri.
Kesadaran diri sebagai makhluk lingkungan merupakan kesadaran bahwa manusia diciptakan Tuhan YME sebagai kholifah di muka bumi dengan amanah memerlihara lingkungan. Dengan kesadaran itu, pemeliharaan lingkungan bukan sebagai beban, tetapi sebagai kewajiban ibadah kepada Tuhan YME, sehingga setiap orang akan terdorong untuk melaksanakan.
Kesadaran diri akan potensi yang dikaruniakan Tuhan kepada kita sebenarnya merupakan bentuk syukur kepada Tuhan. Dengan kesadaran itu, siswa akan terdorong untuk menggali, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan potensi yang dikaruniakan oleh Tuhan, baik berupa fisik maupun psikologik. Oleh karena itu, sejak dini siswa perlu diajak mengenal apa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki (sebagai karunia Tuhan) dan kemudian mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki dan memperbaiki kekurangannya. Jika siswa menyadari memiliki potensi olahraga, diharapkan akan terdorong untuk mengembangkan potensi tersebut menjadi olahragawan yang berprestasi. Demikian pula untuk potensi jenis lainnya. Wali kelas, guru Bimbingan Konseling, guru Bimbingan Karier, bahkan semua guru perlu dan dapat berperan dalam mendorong siswa mengenal potensi yang dimiliki dan mengoptimalkan menjadi prestasi belajar.
Kesadaran tentang pemeliharaan potensi diri (jasmani dan rokhani) diharapkan mendorong untuk memelihara jasmani dan rokhaninya, karena keduanya merupakan karunia Tuhan yang harus disyukuri. Oleh karena itu, menjaga kebersihan, kesehatan, baik jasmani maupun rokhani, merupakan bentuk syukur kepada Tuhan, yang harus dilakukan. Berbagai mata pelajaran dapat menjadi wahana pengembangan kesadaran diri seperti itu, misalnya Biologi dan Olahraga dapat menjadi wahana yang sangat bagus untuk kesadaran memelihara jasmani, sedangkan Agama, Kewarganegaraan, Sastra dapat menjadi wahana pemeliharaan rokhani.
Sebagai bentuk syukur kepada Tuhan, potensi yang dikaruniakan kepada kita harus dikembangkan, sehingga setiap orang harus mengembangkan potensi yang dikaruniakan-Nya. Pengembangan potensi dilakukan dengan mengasah atau melatih potensi itu. Dan itu berarti setiap orang harus terus menerus belajar. Dengan demikian prinsip life long education didorongkan kepada siswa, sebagai perwujudan syukur kepada Tuhan YME. Jadi belajar terus menerus sepanjang hayat merupakan bentuk syukur kepada Tuhan yang harus dilakukan oleh setiap orang.
Jika kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk sosial dan makhluk lingkungan, serta kesadaran akan potensi diri dapat dikembangkan akan mampu menumbuhkan kepercayaan diri pada anak didik, karena mengetahui potensi yang dimiliki, sekaligus toleransi kepada sesama teman yang mungkin saja memiliki potensi yang berbeda.
Kecakapan kesadaran diri, sebagaimana dijelaskan di atas, kini semakin penting, karena salah satu problem bangsa ini adalah “rusaknya” moral. Para ahli menyebut, masyarakat kita sedang dijangkiti “penyakit me first ”, yang selalu memikirkan keuntungan diri di urutan paling depan. Melalui penekanan kesadaran diri dalam pendidikan yang diaplikasikan melalui semua mata pelajaran, diharapkan secara bertahap moral bangsa dapat diperbaiki.
Pendidikan untuk mengembangkan kesadaran diri seringkali disebut sebagai pendidikan karakter , karena kesadaran diri akan membentuk karakter seseorang. Karakter itulah yang pada saatnya terwujudkan menjadi perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu banyak ahli yang menganjurkan penumbuhan kesadaran diri ini yang perlu dikembangkan sejak usia dini dan diupayakan menjadi kehidupan keseharian di rumah maupun di sekolah.
Jumat, 09 Mei 2008
life skill
Diposting oleh KEGIATAN TERAKHIR di 15.17